1.10.2010

JALAN-JALAN YOK....





Bangka Belitung (3-6 Juli 2009)
Selama tiga hari ‘berkencan’ dengan pulau Bangka, tanpa luput dari pemandangan lahan berlubang dan penambangan timah yang masih aktif, gue ngelihat sebuah program pariwisata besar sedang dipersiapkan, “Visit Babel Archi 2010” yang membahana di beberapa tempat strategis. Selain sebagai penghasil timah, Bangka Belitung emang dianugerahi potensi pariwisata yang baik. Propinsi ini berbentuk kepulauan yang terdiri dari 2 pulau besar, yaitu Bangka dan Belitung serta 254 pulau-pulau kecil di sekitarnya. Letaknya berdampingan dan diapit oleh Laut Cina Selatan dan Laut Jawa. Jika nama Belitung mencuat berkat karya Andrea Hirata melalui “Laskar Pelangi” yang telah dibuktikan dengan pantai-pantai eksotis dan potensi wisata bahari lainnya, Bangka tampil dengan karakteristik yang tak kalah menariknya. Pangkalpinang, ibukota Babel, adalah kota yang ramai dan cukup sibuk. Rumah-rumah tua peninggalan zaman kolonial dapat ditemui dengan mudah. Salah satunya adalah gedung bersejarah yang pernah ditempati presiden Sukarno dan tokoh-tokoh pejuang lainnya selama dalam masa pengasingan, dan kini menjadi Museum Timah. Dari museum ini, gue bisa dapet informasi dan sejarah seluk beluk timah di Indonesia dan benda-benda peninggalan sejarah tekait aktifitas penambangan timah. Setelah dari Museum Timah, gue nyempetin diri ke Bangka Botanical Garden (BBG) di kawasan Ketapang. BBG meliputi area seluas 300 hektar dan merupakan pengembangan wisata edukatif pertanian organic terpadu sekaligus habitat rawa yang dikonsep oleh perusahaan peleburan timah PT Dona Kembara Jaya. BBG didirikan dengan tujuan utama menyediakan bibit reklamasi lahan bekas galian tambang menjadi area agro tourism yang nantinya menjadi objek wisata utama di Bangka. Di sini gue dapat ngelihat sisi Bangka yang hijau dari pohon-pohon cemara. Selain itu juga ada pengembangbiakan aneka tanaman hias dan buah naga yang jumlahnya 400 batang. Selain pertanian, gue juga bisa berwisata ternak. Saat ini, BBG mempunyai sekitar 300 ekor sapi perah dan sapi daging berjenis limosin, simental, black angus dn sapi Bali. Bahkan gue dapet ngelihat sapi ngelahirin anaknya atau berinteraksi dengan sapi, misalnya memerah susu hingga ke pengemasannya. Susu-susu sapi yang mencapai 240 ml atau sekitar 500 cup sehari dibagikan ke sekolah-sekolah sekitar. Ke depannya, akan dikembangkan produk yoghurt dan es krim. Dan gue juga dapet ngelihat proses pengolahan kotoran sapi menjadi pupuk kompos. Sehari, kotoran tersebut menghasilkan 3 ton pupuk kompos dan air seninya dijadikan pupuk urea cair untuk 3 bulan. Bagi yang suka ternak ikan, BBG memiliki 14 kolam pembibitan ikan rawa, yaitu koi, nila, mas, dan patin. Satu kesempatan yang cukup mengasikkan di Pangkalpinang adalah melanjutkan perjalanan ke Sungailiat, sekitar 45 menit dengan mobil. Berbeda dengan Pangkalpinang, Sungailiat menampakkan ketenangan dan bersih. Dua objek yang tidak boleh dilewatkan adalah pantai Matras dan pantai Parai Tenggiri. Pantai Matras bisa menjadi tempat bersantai pada sore hari. Pantai sepanjang 3km terletak di desa Sinar Baru ini berpasir putih lembut, sedangkan di pantai Parai Tenggiri tepat untuk aktivitas air seperti jetski, banana boat, canoe atau memancing dengan pemandangan resort bintang empat yang berdiri di tepinya. Besoknya gue pergi ke Belinyu, 90km dari Pangkalpinang di sebelah utara. Kampung Gedong adalah tujuan utama, sebuah perkampungan etnis China yang mayoritas tidak fasih berbahasa Indonesia. Menariknya, kawasan pecinan ini masih menjaga rumah-rumah tua dari kayu berumur lebih dari seabad dan masih kokoh. Dulunya, kawasan ini merupakan pertambangan timah pada masa Belanda yang dikerjakan pekerja dari China. Sebagian masyarakat yang masih tinggal sekarang bermata pencaharian membuat kerupuk. Gue ngelihat dua pabrik besar yang dikenal menghasilkan kerupuk cumi, ikan, dan udang khas Bangka. Pabrik kerupuk ini sering didatangi wisatawan yang ingin mengenal lebih jauh pembuatan kerupuk Bangka. Yang paling istimewa dari Belinyu, terdapat pantai cantik dan menyajikan panorama keindahan. Ada pantai Romodong yang berpenampilan tenang, dan 6km berikutnya ada Tanjung Penyusuk dengan bebatuan granit besar yang berhamparan di garis pantainya. Ombak besar yang terpecah berbenturan dengan batuan granit menyajikan panorama terindah di tengah matahari terbenam. Ternyata, bukan saja timah tetapi juga keindahan alam yang dapat membesarkan Pulau Bangka. Dan semua itu dapat terkuak oleh mereka yang serius menelusurinya.

Kendari (12-17Desember 2008)
Langit masih berawan ketika gue tiba di bandara Wolter Monginsidi, Kendari. Akhir-akhir ini cuaca di Kendari memang tak menentu, kadang berawan tiba-tiba dan hujan, dan sesaat kemudian panas cerah. Sembari berharap cuaca akan terus cerah, gue menelusuri Kendari di jelang malam.
Jarak dari bandara ke pusat kota ternyata cukup jauh, sekitar 50km. setelah satu jam perjalanan gue tiba di pusat kota; di sisi kiri-kanan sepanjang jalan dipadati ruko-ruko dan rumah makan. Atas rekomendasi salah seorang rombongan gue, gue makan malam di rumah makan Medulu di Jalan Ahmad Yani. Menu khas Kendari seperti Sinonggi, Tawaoloho ayam dan Kambatu Tinomisi menjadi santapan perkenalan gue dengan kuliner khas Kendari. Rasanya yang sesuai dengan selera, buat gue langsung jatuh cinta dengan masakan ini. Selesai makan, gue bersiap menjelajah malam kota ini. Tujuan pertama gue ke Kendari Beach. Nggak kayak yang gue bayangin, ternyata Kendari Beach bukanlah tepian pantai dengan riak ombak yang saling berkejaran. Tetapi cuma sekedar tepian Teluk Kendari. Di sekitarnya terdapat banyak warung –warung tenda yang menjadi tempat nongkrong yang asyik sambil ditemani pisang epe dan segelas serraba untuk menghangatkan badan. Pagi harinya, gue ke tempat pelelangan ikan di salah satu sudut Kota Lama Teluk Kendari. Terlihat para nelayan dan penjual ikan serta ibu-ibu rumah tangga terlihat sibuk melakukan transaksi. Keunikan yang langsung menarik perhatian gue adalah, hampir semua wanita di tempat ini menggunakan masker bedak dingin yang tebal di wajah mereka. Bedak dingin yang terbuat dari tepung beras ini berfungsi sebagai pelindung wajah mereka dari sengatan sinar matahari yang panas. Dari tempat pelelangan ikan, gue keliling kota Kendari di waktu pagi. Kendari yang seluas 295,89km2 dan terletak di sekeliling teluk, membentang melingkar dengan bibir pantai yang menghijau oleh pepohonan bakau dan di sepanjang tepi jalan yang berbatasan dengan teluk. Aneka ragam warna kapal nelayan menjadi pemandangan eksotis pagi hari. Dari Kota Lama yang sebagian penduduknya masih keturunan orang Cina, dari pasar tradisional hingga pelabuhan antar pulau, gue kunjungi waktu itu. Jalan raya masih lengang; udara pagi yang sejuk dan sapaan ramah masyarakat Kendari ngebuat pagi gue terasa lebih indah di sini. Sebuah bangunan unik bebentuk menara dengan ruang bulat di puncaknya menarik perhatian gue. Dari kejauhan bangunan tersebut terlihat seperti pesawat luar angkasa yang siap melesat menuju ruang angkasa. Tugu tersebut ternyata adalah Menara Persatuan yang terletak di tengah-tengah arena ex-MTQ di Kelurahan Korumba, kecamatan Kendara. Menara ini di bangun dalam rangka penyelenggaraan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) tingkat nasional ke-21 pada Juni 2006. Menara ini dibangun sangat megah, setara dengan “Menara Keanggunan” di propinsi Gorontalo. Apabila menara di Gorontalo bentuknya mirip menara Eiffel di Paris, maka “Menara Persatuan” di Kendari mirip menara di Sanghai, Cina. Ia dinamakan Menara Persatuan karena sangat sesuai dengan masyarakat Kendari yang multi-etnis dan hidup rukun berdampingan. Mereka antara lain adalah etnis Tolaki, etnis Muna, etnis Buton, dsb. Mereka masing-masing memiliki bahasa daerah yang berlainan. Menara Persatuan dengan arsitektur yang begitu futuristic menjadi ikon bagi masyarakat Sultra. Kemudian gue ngelanjutin perjalanan ke Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW). Taman ini memiliki luas 105.194ha, yang merupakan perwakilan tipe ekosisitem hutan hujan pegunungan rendah, hutan bakau, hutan pantai, savana, dan hutan rawa air tawar di Sulawesi. Rawa Aopa berjarak sekitar 120km dari Kendari dan bisa ditempuh selama 2 jam perjalanan. Sayangnya, kondisi jalan menuju taman ini cukup menantang karena beberapa jalannya rusak parah. Disini gue bisa menikmati keindahan alam yang luar biasa. Gue susuri rawa seluas 30.000ha dengan perahu kayu kecil (katingting) yang membelah rawa dan menikmati suasananya. Hamparan bungai teratai putih dan merah yang sangat indah terbentang di sekitar area rawa. Sesekali burung-burung air muncul dari balik rerimbunan semak belukar mencari ikan; di angkasa sekelompok belibis membentuk formasi terbang yang indah dan menawan. Dan perasaan tegang sempet hinggap ketika seekor buaya air tawar terlihat berenang tak jauh dari peahu yang gue tumpangi. Benar-benar pengalaman yang luar biasa. Gue ngerasain kedamaian dan penyatuan alam yang tak bisa terhindarkan. Petualangan gue nggak berhenti sampai di sini saja. Destinasi selanjutnya adalah air terjun Moramo di kawasan Suaka Margasatwa Tanjung Peropa. Letaknya sekitar 70km ke arah selatan Kendari dan dapat ditempuh kendaraan selama dua jam perjalanan. Air terjun Moramo merupakan air terjun bertingkat (cascade) dengan ketinggian 100m dan tujuh undakan utama. Tiap undakan membentuk kolam, dan salah satunya , di undakan kedua, dapat dipakai untuk berenang. Tebing yang membentuk tingkatan tersebut sangat unik karena batuannya tidak licin; para pengunjung dapat memanjat setiap tingkatan sampai di atas tanpa takut jatuh. Kolam dengan air yang bersih, dingin dan segar yang diselingi pepohonan ebony, kayu hitam, jati, bayam, dan beringin, merupakan habitat yang ideal bagi burung-burung dan satwa lainnya. Gue bener-bener dibuat terpesona ketika angin menggugurkan daun-daun pepohonan di sekitar air terjun ini, rasanya nyaris seperti surga di tengah belantara. Hal lain yang menarik selama gue berada di Kendari adalah perkebunan jambu mete di sepanjang jalan. Saat ini jumlah lahan produktif jambu mete di Sultra mencapai 91.700ha dengan produksi mencapai 400kg/hectar. Tak heran jika Sultra juga terkenal sebagai salah satu sentra penghasil kacang mete terbaik di Indonesia Timur, selain sebagai penghasil kakao (coklat). Beberapa sentra produksi mete banyak dijumpai di Kabupaten Muna, Buton, Konawe dan Kabupaten Konawe Selatan. Berkunjung ke Kendari tak lengkap rasanya tanpa ke Dekranas di Jl. Ahmad Yani, tempat penjualan hasil-hasil kerajinan daerah Sulawesi Tenggara. Di sini adalah tempat yang tepat untuk berbelanja berbagai macam hasil kerajinan local seperti kerajinan perak, perhiasan mutiara, kerajinan kain tenun, dsb. Di tempat ini juga bisa disaksikan secara langsung proses pembuatan souvenir dari perak, tenun tradisional, dan penganyaman tas. Akhirnya usai sudah perjalana gue di Kendari selama lima hari. Sore ini gue harus udah cabut ke Pekalongan. Sampai jumpa di jalan-jalan gue berikutnya ya…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar